Transisi Energi Baru dan Terbarukan Berpotensi Tingkatkan Kasus Korupsi Indonesia. Mengapa?

    Transisi Energi Baru dan Terbarukan Berpotensi Tingkatkan Kasus Korupsi Indonesia. Mengapa?

    SURABAYA – Indonesia yang juga merupakan presidensi KTT G20 saat ini tengah fokus mengembangkan Transisi Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

    Penggarapan mega proyek tersebut dinilai dapat berpotensi menjadi ladang korupsi baru apabila tidak diiringi penegakan hukum yang ketat. Hal itu disampaikan oleh Dadang Trisasongko, Co-Chair Anti-Corruption Working Group C20.

    Alumnus Fakultas Hukum (FH) Universitas Airlangga (UNAIR) tersebut menilai, dengan Indonesia yang masih memiliki nilai Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di bawah 40, pelaksanaan transisi energi justru akan membuat kasus korupsi di Indonesia meningkat.

    Patut diketahui, IPK sendiri merupakan indeks untuk mengukur tingkat korupsi di suatu negara. Dimana semakin kecil skor IPK suatu negara menunjukkan semakin tingginya tingkat korupsi di negara tersebut. Sementara Indonesia menempati posisi 96 dengan nilai IPK 38.

    Aktivitas Pembangkit Listrik Tidak Transparan

    Menurut Dadang, ada beberapa hal yang dapat menjadi faktor dalam mendukung kasus korupsi pada pelaksanaan transisi EBT. Salah satunya, tidak transparannya aktivitas politik dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara.

    Riset yang dilaksanakan oleh Indeks Keterlibatan Politik Perusahaan (CPEI) menyatakan bahwa PLTU Batubara di Indonesia tidak transparan dan tertutup terhadap akses laporan aktivitas perusahaan, khususnya pada sektor politik. Dadang menyoroti pada hal donasi politik.

    “Donasi politik sebetulnya hal yang diperbolehkan dengan batasan tertentu, tapi PLTU Batubara kita seakan menutupinya. Padahal, hampir 44 persen PLTU Indonesia memiliki Politically-Exposed Person (PEP) yang pastinya di sana ada kegiatan transaksional, ” terangnya.

    Jika, gelapnya interaksi antara PLTU dan sektor publik ini terus berlanjut, sambungnya, maka kasus korupsi di sektor energi akan tetap ada. “Karena dari situ sumber korupsi politiknya, jika tidak dibenahi korupsi hanya pindah lahan saja, ” tandasnya.

    Skandal Suap Lintas Yuridiksi

    Selain itu, Dadang juga mengungkapkan bahwa skema korupsi tak hanya dilakukan oleh antar BUMN dan pejabat dalam negeri saja. Namun, juga dengan pengusaha asing. Ia mencontohkan beberapa kasus seperti adanya praktik suap pada pengadaan mesin pesawat oleh Rolls Royce dan suap penggunaan timbal dalam bahan bakar oleh INNOSPEC. Yang mana keduanya adalah perusahaan dari Inggris yang notabene memiliki undang-undang ketat dalam hal korupsi.

    “Inilah yang harus kita cegah saat pelaksanaan transisi EBT, transaksi gelap antara pejabat dengan pengusaha asing yang mencari keuntungan kepada negara kita melalui perdagangan luar negeri, ” ajaknya dalam Seminar Nasional FH UNAIR Selasa (28/06) kemarin.

    Kebutuhan Mineral

    Lebih lanjut Dadang mengungkapkan bahwa penggunaan EBT juga tak lepas dari industri mineral sebagai bahan baku pembuatan baterai untuk menyimpan listrik. Data dari Transparansi International menunjukkan adanya persentase korupsi yang tinggi pada sektor industri mineral.

    “Indonesia juga memiliki potensi mineral yang kaya. Oleh karena itu kita juga harus memperkuat akuntabilitas kelembagaan untuk mencegah dan mengidentifikasi korupsi pada industri mineral, ” terangnya yang hadir secara langsung dalam seminar hybrid yang dilaksanakan di Aula Pancasila FH UNAIR tersebut. (*)

    Penulis : Ivan Syahrial Abidin

    Editor : Binti Q Masruroh

    SURABAYA
    Achmad Sarjono

    Achmad Sarjono

    Artikel Sebelumnya

    ITERA Kunjungi UB Pelajari Humas, Protokoler,...

    Artikel Berikutnya

    Terlibat Pengroyokan Tiga Oknum Pendekar...

    Berita terkait