SURABAYA – Isu perkawinan anak menjadi problematika yang sayangnya masih jadi tantangan hingga kini. Dengan risiko serta faktor pendorong yang begitu kompleks, diperlukan upaya konsisten untuk mengedukasi masyarakat mengenai pencegahan perkawinan anak. Salah satunya adalah apa yang dilakukan oleh organisasi mahasiswa independen GirlUp! Universitas Airlangga (UNAIR).
Dalam webinar
Baca juga:
GLS ITS Soroti Kesenjangan Upah Antar Gender
|
bertajuk #ChildMarriagePreventionSquad: Penyuluhan Konsekuensi Perkawinan Anak, GirlUp! mengundang berbagai pembicara sesuai kepakarannya. Salah satunya adalah Dr Arri Handayani SPsi MSi, Kepala Pusat Kependudukan Perempuan dan Perlindungan Anak (PKKPA).
“Perkawinan anak merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri pada usia yang masih muda atau remaja, ” ujar Arri.
Beragam Faktor
Menurut Arri, Sabtu (16/07/2022) terdapat beragam faktor yang mempengaruhi terjadinya perkawinan anak. Pertama, latar belakang ekonomi keluarga yang tidak mendukung. Akibat tidak mampu disekolahkan, anak perempuan akhirnya dilihat lebih baik untuk dinikahkan saja pada keluarga yang lebih mampu.
Faktor berikutnya adalah berkaitan dengan budaya dan kebiasaan masyarakat setempat. Apabila anak perempuan tidak segera menikah, maka banyak timbul anggapan dan kepercayaan bahwa ia akan menjadi perawan tua. Selain itu, faktor pendidikan juga berpengaruh. Anak perempuan yang tidak berkesempatan mengakses pendidikan akan lebih rentan jatuh dalam perkawinan anak.
Dampak Negatif
Arri menekankan bahwa perkawinan anak dapat mengakibatkan berbagai macam dampak negatif pada anak perempuan. Misalnya saja dari segi biologis. Ketika perempuan menikah di usia anak, ia akan mendapatkan risiko komplikasi pada kehamilan. Komplikasi ini dapat hadir dalam bentuk persalinan macet hingga konsekuensi kesehatan pada bayi. Sementara itu, aspek psikologis dari anak perempuan ini akan banyak terganggu.
Ilustrasi aksi anti perkawinan anak. (Foto: Tempo)
“Punya anak dan berumah tangga akan mengakibatkan anak perempuan kehilangan masa remajanya. Masa-masa yang membahagiakan dengan teman sebaya akan hilang, dan risiko KDRT (kekerasan dalam rumah tangga, Red) akan lebih besar, ” jelas alumni doktor Universitas Gadjah Mada tersebut.
Belum lagi, menurut Arri, secara luas perkawinan anak merupakan salah satu bentuk pelanggengan budaya patriarki yang ada di masyarakat. Perempuan selalu dipandang sebagai warga kelas dua yang kerap menjadi objek kepemilikan laki-laki dalam ikatan pernikahan. Sehingga, perempuan akan kehilangan lebih banyak peluang untuk berpendidikan dan berkarir.
Diperlukan Upaya Pencegahan
Arri mengatakan bahwa diperlukan upaya pencegahan yang komprehensif dan sinergis dalam menangani perkawinan anak. Selain edukasi pada anak dan remaja, edukasi pada orangtua juga dibutuhkan agar tidak menjerumuskan anak pada perkawinan anak. Selain itu, pemerintah dapat turut serta dalam melakukan program kerja pemberdayaan perempuan yang akan memperkuat posisi perempuan dalam keluarga pula.
“Menikah merupakan peristiwa yang dilakukan di usia yang siap secara fisik dan mental, termasuk segala risikonya, ” tutup dosen program studi Bimbingan dan Konseling Universitas Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Semarang tersebut. (*)
Penulis: Deanita Nurkhalisa
Editor: Binti Q. Masruroh